Oleh
AHDA IMRAN
KEKUASAAN dan pemberontakan selalu menjadi tradisi
dialektis yang niscaya. Terutama bila kekuasaan membuat rakyat sengsara dan
putus asa, maka harapan ihwal masa depan harus segera diselamatkan dengan jalan
pemberontakan. Di situ, meminjam perkataan Albert Camus, setiap ide tentang
pemberontakan meminta suatu nilai. Dalam sejarah kekuasaan di Nusantara,
tradisi pemberontakan rakyat berkelindan dengan banyak ihwal. Sebagai suatu ide, berbagai
pemberontakan rakyat di Nusantara tak bisa disendirikan dari bagaimana
masyarakat tradisional (Jawa) mengimani konstruksi waktu serta siklus tabiat
kekuasaan (Kertayuga, Tretayuga, Kaliyuga).
Konstruksi tersebut dikuatkan pula sejumlah ramalan
yang diimani sebagai janji masa depan ihwal kedatangan Ratu Adil (Erucokro, Satrio
Piningit), seorang Juru Selamat yang tersebut pula di sumber-sumber keagamaan;
Mesiah atau Imam Mahdi. Mereka inilah yang akan mengembalikan kemakmuran masa
silam, menegakkan kembali hukum-hukum suci yang dikotori oleh kekuasaan.
Pada konteks ini, gagasan pemberontakan muncul bukan
semata sebagai reaksi atas kekuasaan, namun pula reaksi atas kuasa perubahan
yang diusung oleh modernitas. Kuasa yang
membikin lapuk kekuasaan dan sistem nilai lama. Di tengah kuasa perubahan itu,
karena masa depan tak bisa dirumuskan apalagi digenggam, maka narasi masa silam
yang tenteram menjadi satu-satunya realitas ideal yang menjadi harapan.
Akan tetapi, dengan utopia serupa itulah pemberontakan
dilakukan sebagai “perang suci”, menghadapi dua kekuasaan sekaligus; kuasa politik
dan ekonomi negara serta kuasa perubahan yang diusung modernitas. Meski
pemberontakan selalu berujung tragis, sepanjang rakyat belum merasakan keadilan
pembangkangan akan terus muncul, bergitu pula kemunculan sosok yang mendaku
sebagai Ratu Adil dan nabi pribumi.
Inilah yang mengemuka dalam Borobudur Writers and Culture Festival (BWCF) 2014 dengan tema “Ratu Adil: Kuasa & Pemberontakan di
Nusantara”, di kawasan Candi Borobudur Magelang, 12-15 Nopember. Selama tiga
hari festival ini mengepung Ratu Adil dalam ruang seminar dan di panggung
kesenian dua desa lereng Gunung Merbabu dan Merapi. Ini festival tahunan yang ketigakalinya
diadakan oleh Yayasan Samana. Diikuti oleh para penulis, sejarawan, mahasiswa,
komunitas kesenian, dan berbagai kalangan penggiat budaya.
Kuasa Perubahan
Di forum seminar Ratuadilime diurai seraya
memperluasnya ke berbagai pemikiran ihwal hakikat pemberontakan di Nusantara.
Uraian Dr.Peter Carey tentang Pangeran Diponegoro, gerakan mahdiisme Tengkeu
Bantaqiyah di Aceh (Dr. Otto Syamsuddin Ishak), pergerarakan Ratu Adil di Biak
Papua (Dr. Enos H Rumansara), hingga telaah menarik Jean Couteau tentang
gerakan Ratu Adil di Bali. Pula begitu dengan pembacaan Dr. Setyo Wibowo yang
membandingkan tradisi pemberontakan di Jawa dan di Yunani.
Seluruh gerakan pembangkangan itu tidak
sekadar minta diingat sebagai sekelompok orang yang mengangkat senjata melawan
dominasi penguasa. Melainka tak bisa disendirikan dengan konsep waktu dalam masyarakat
tradisional di tengah kuasa perubahan. Soalnya mungkin bukan hanya masa silam yang ditaruh
sebagai realitas ideal, tetapi kegagalan mentransformasikan harapan ke dalam
kuasa perubahan. Terlebih manakala kuasa itu adalah kuasa modernitas yang
meminta pembacaan kritis terhadap mitos dan narasi masa silam. Pada konteks
inilah Ratuadilisme meninggalkan jejaknya hingga hari ini dalam kontruksi
identitas kebangsaan dan agama.
Kuasa perubahan adalah hukum besi kebudayaan. Hukum
yang pada tabiatnya yang lain melahirkan cara pembacaan yang berbeda atas
kepercayaan masa silam yang diimani sebagai kebenaran absolut. Dari cara
pembacaan inilah dalam masyarakat tradisional muncul bentuk pembangkangan
berikutnya atas kuasa ortodoksi agama, yakni, mereka yang mendaku sebagai nabi
seperti diurai oleh Dr. Al Makin.
Panggung
Ratu Adil
Ratu Adil lalu dibawa ke Dusun Gajayan di lereng
Gunung Merbabu dan Desa Tutup Ngisor di lereng
Gunung Merapi. Selama dua malam,
bersama warga desa Ratu Adil ditaruh dipanggung pertunjukan. Ratu Adil itu
dikepung dalam pembacaan puisi, monolog, tarian, dan nyanyian. Kurasi festival
berupaya menemukan tautan antara perbincangan di ruang seminar dengan kesadaran
yang direpresentasikan dalam karya dan penampilan para seniman.
jurnal-asia.com |
Tentu saja itu menjadi niscaya, sebab
praktik-praktik seni senantiasa memaktubkan pemberontakan demi berhadapan
dengan kuasa perubahan. Setidaknya itu terlihat pada tema karya para seniman
yang diundang. Mulai dari pembangkangan Kartosuwiryo dalam pembacaan puisi
Trianto Triwikromo hingga pengakuan topeng seorang anggota DPR dalam monolog
Ine Febrianti. Tema-tema yang luluh ke dalam realitas tanpa menjadikan harapan
sebagai khotbah.
Tautan itu juga terasa benar dalam sejumlah nomor
tarian yang disuguhkan oleh Komunitas Lima Gunung. Tarian yang memadukan bentuk
idiom-diom ritual tradisi lokal dan Islam yang merepresentasikan pembangkangan.
Pandangan mistis magis dalam kepercayaan masyarakat tradisional serta agama
merupakan watak dari pembangkangan Ratu Adil. Hentakan kaki dan tubuh para
penari yang liat dan tegas, barisan para prajurit perempuan, atau kuasa jahat
yang dilambangkan dengan topeng dan perlawan terhadap mereka.
Pada bentuknya yang lain beberapa nomor tarian hadir
tak terduga demi menjawab kuasa perubahan. Termasuk kuasa yang tidak dihindari
melainkan dirangkum demi membangkang pada kategorisasi identitas masa silam
yang beku. Sebutlah, tarian para perempuan desa dengan iringan karawitan Jawa
yang memainkan melodi lagu Batak “Si Nanggar Tulo Ha Tulo” di panggung
Padepokan Tjipto Budojo Desa Tutup Ngisor.
Mengepung Ratu Adil dalam ruang seminar dan
peristiwa seni selama tiga hari itu akhirnya menjadi cara berikutnya untuk
merayakan pemberontakan dan merawat harapan. Soalnya bukan lagi pertanyaan,
apakah pemikiran tentang Ratu Adil itu positif atau negatif dalam realitas hari
ini? Tetapi, bagaimana mentransformasikan konsep Ratu Adil menjadi harapan baru
demi menyiasati berbagai kuasa perubahan yang terus didesakkan oleh modernitas.
Bukan harapan yang menyangkal kuasa perubahan seraya memandang masa lalu
sebagai masa depan, seperti gambar mantan Presiden Soeharto yang banyak muncul menjelang pemilu lalu; piye kabare, enak jamanku toh?**
AHDA IMRAN, penyair
Sumber : Kompas, 7 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar