Ahda
Imran---penyair dan
esais
SEBUAH
foto beredar di sosial media dan ditayangkan di salah satu stasiun TV. Foto itu
memperlihatkan Jokowi sedang berjalan di antara ribuan pendukungnya memasuki
Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, menghadiri Konser Salam Dua Jari. Meski
beberapa orang mengawalnya, namun tampak dalam foto itu ada tangan seorang
perempuan yang menjawil gemas pipi Jokowi. Lebih dari sekadar hendak memperlihatkan
bentuk fanatisme seorang pendukung pada capres pilihannya, foto itu tampaknya sedang
menjelaskan pula relasi makna kehadiran tubuh seorang capres dengan tubuh para pendukungnya.
Relasi yang membuat para pendukung memaknai kehadiran tubuh Jokowi bukan
sebagai tubuh elite, melainkan seolah kehadiran dari bagian tubuh mereka juga.
Foto itu membawa pula ingatan
ihwal relasi antara biografi tubuh elite dan biografi politiknya. Sebuah relasi
yang sekaligus mengkonstruk makna kehadiran tubuh elite bagi khalayak, dan bagaimana tubuh elite itu memaknai interaksi
khalayak. Ringkasnya, foto itu menarik telaah ihwal interaksi kehadiran tubuh
elite dan tubuh khalayak, yang dilihat dan yang melihat, serta membayangkan
proses pemaknaan itu terjadi dalam hubungangannya dalam biografi tubuh elite.
Lepas dari pemisahan
tubuh (res extansae) dan kesadaran (res cogitans) yang disebut Descartes,
biografi tubuh seorang elite penguasa tidaklah bisa dilainkan dari biografi
politiknya. Tubuh, oleh sebab itu, bagi filsuf fenomenologis seperti Merleau-Ponty
menjadi pokok penentu seseorang melihat dan memaknai dunia. Maka relasi
biografi politik seorang elite penguasa dan biografi tubuhnya menjadi
keniscayaan. Termasuk ketika tubuh itu mengkontruksikan watak dan kharisma
politiknya ke tengah khalayak, sebagaimana tampak pada tokoh seperti Sukarno.
Dalam banyak sumber
sejarah tradisional, tubuh seorang raja selalu dicitrakan dengan berbagai
selubung mitos dan sakral. Kitab Pararaton melukiskan Ken Arok yang semasa bayi
tubuhnya memancarkan cahaya berkilauan yang diyakini sebagai wahyu keprabon. Begitu
pula Babad Tanah Jawi yang mengisahkan Pangeran Puger (Pakubuwana I) mendapatkan
wahyu keprabon melalui sperma yang bercahaya, yang keluar dari jenasah kakaknya
(Amangkurat II). Atau, cerita tutur yang hidup dalam masyarakat Sunda ihwal tubuh
Prabu Siliwangi di akhir kekuasaannya dipercaya ngahiang (sirna menuju langit).
Keindahan
dan Kebajikan
Dalam seluruhnya itu tubuh
elite bukan sekadar fisik, melainkan pula tubuh yang terhubung dengan jagat
kosmologis. Sebagai tubuh yang memegang kedaulatan para Dewa, umumnya kisah
tradisional memberi bayangan ihwal kesempurnaan fisik tubuh penguasa. Tubuh yang
berbeda dari tubuh kawula atau rakyat. Tak hanya gagah namun juga memancarkan
keagungan sebagaimana divisualkan dalam bentuk relief dan arca yang penuh ornamen
serta simbol, merepresentasikan hubungann otoritas kekuasaannya dengan jagat
para Dewa.
Pola yang sama juga terdapat
pada patung atau lukisan figur para raja di Eropa, sejak masa renaissans hingga
romantik. Dan segenap citraan itu terhubung kuat dengan keyakinan bahwa
keindahan adalah kebajikan dan kemuliaan, sebagaimana Anthonny Skynnott
(1993:41) mengutip pandangan Castaglione filsuf di masa renaissans, keindahan itu
diyakini identik dengan kebajikan bathiniah, khususnya yang terdapat pada tubuh
manusia.
Karena kesempurnaan
fisik dianggap melambangkan kesempurnaan moral, seperti yang berlaku di Eropa
pada abad ke 17, Faucoult dalam Power/Knowledge
(1977:70) memandang tubuh raja bukan lagi suatu metafora melainkan realitas
politik. Negara identik dengan tubuh raja, sebelum pada abad ke-19 tubuh itu
diturunkan dan diganti oleh tubuh rakyat.
Pembebasan
Meski politik telah
ditaruh sebagai ruang publik, namun tradisi politik modern di Indonesia cenderung
mengambil jarak dari tubuh rakyat. Tradisi politik yang menjadi hegemoni
bersama para elite partai, pemilik modal, dan birokrasi pemerintah. Dalam
hegemoni itulah biografi tubuh dan biografi politik elite berada dan tumbuh
menjadi tubuh yang elitis.
Di seberangnya, tubuh
rakyat tumbuh bersama jejak-jejak biografi para kawula yang mengidentifikasi
kharisma tubuh elite sebagai tubuh yang berbeda dari mereka; karakter wajah,
bahasa dan postur tubuh, hingga caranya berbicara. Sebab kehadiran tubuh elite
semacam itu bukankah bagian dari tubuh mereka, maka tubuh rakyat pun melakukan
interaksi yang pasif. Di hadapan tubuh
rakyat, tubuh elite itu adalah tubuh
yang berbicara, bukan tubuh yang mendengar.
Sebaliknya, ketika
rakyat menemukan juga tubuhnya atas kehadiran tubuh seorang elite, maka tubuh
itu dimaknai bukan lagi sebagai tubuh elite. Melainkan tubuh seorang pemimpin.
Tubuh yang mendengar dan melayani ketimbang berbicara. Tubuh yang mirip dengan
tubuh rakyatnya, atau rakyat menemukan tubuh mereka pada tubuh pemimpinnya sehingga
realitas politik menjadi realitas bersama. Biografi tubuh seorang pemimpin yang
luluh menjadi biografi tubuh rakyatnya akhirnya menjadi suatu tradisi politik
yang dimaknai sebagai pembebasan.
Di
seberang lain, tubuh bangsawan dan elite yang dikalahkan pun meradang. Mereka tak
terbiasa dan tidak bisa percaya; bahwa mereka dikalahkan oleh tubuh rakyat.
SUMBER: H.U. Pikiran Rakyat, 13 Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar