---Ahda
Imran, Penyair dan Esais
NAMANYA
Nyoman Anjani, Presiden Keluarga Mahasiswa ITB, sedang menyelesaikan tugas
akhirnya di Jurusan Teknik Mesin. Memakai baju hangat, celana jins dan sepatu
keats, rambut terurai, memakai kacamata, dan cantik. Malam itu (22/1), dalam
acara “Peta(ka): Orasi Kebudayaan Akhir Tahun” di Lapangan Merah Fakultas Seni
Rupa dan Desain (FSRD) ITB , ia tampil sebagai orator paling muda di antara
orator lainnya; Dr. Yasraf Amir Piliang, Prof. Setiawan Sabana, Dr. Asep
Salahudin, Gustaff Hariman Iskandar, dan Prof. Bambang Hidayat. Dengan gayanya yang
santai ia bicara ihwal politik dan seni, tanpa perlu mengutip kalimat-kali gagah Marx, Soekarno, Tan
Malaka, Lenin, atau Plato, yang lazimnya jadi kebiasaan aktivis kampus.
Lalu sesantai itu pula ia ceritakan proses pengetahuannya perihal
politik, budaya, dan seni dari situs Wikipedia. Dari seluruhnya itu ia menarik
kesimpulan; politik adalah seni dan politikus adalah seorang seniman. Pilpres
2014, dia bilang, ialah saat di mana rakyat akan memilih seorang senimannya untuk
melukis kanvas negara ini. Sayang, tak ada seorang pun politikus yang hadir ketika
ia mengatakan, “Seandainya para politikus kita itu adalah seniman, maka ia tak
akan memasang foto wajahnya di pohon atau pantat angkot.”
Orasi Nyoman Anjani menarik sebab ada yang sedang diingatkannya
di situ. Yakni, ihwal perlunya politik dipulangkan pada kemuliaannya sebagai
kerja memperjuangkan ide demi kemaslahatan bersama. Kerja dengan serangkain
teknik dan kebijaksanaan. Di atas semua itu, kerja politik ialah seni
memengaruhi khalayak sebagaimana halnya kerja seorang seniman melalui karyanya.
Ringkasnya, kerja politik adalah “kerja seni”, sebagaimana Laotse atau Machiavelli pernah menuliskannya
sebagai serangkaian teknik keahlian para negarawan.
Ingatan ini pula jadi penting sebab betapa sudah
begitu langkanya khalayak negeri ini menjumpai seorang “seniman politik”; politikus
yang cerdik memahami adab dan seni berpolitik. Lihat saja, Setiap hari khalayak
pun dikerubungi oleh retorika para politikus yang bila diukur dari seni memengaruhi,
mutunya di bawah rata-rata kemampuan aktivis Multi Level Marketing (MLM).
Dalam esainya “Prosa dan Puisi dalam Politik
Indonesia” Ignas Kleiden (2001) menyitir Otto van Bismarck yang menyebut
politik sebagai seni kemungkinan (the Art
of the posible) yang dengan itu politik dan puisi berada dalam ambivalensi
yang sama. Tetapi, seperti ditegaskan Ignas Kleiden, problem politik Indonesia
dengan berbagai perubahannya cenderung dipahami secara prosais. Problem ini
kian akut manakala demokrasi, sebagaimana kodratnya, selalu menghadapkan dua
ihwal dalam interaksi yang dialektis, yakni, konsensus dan konflik. Di ranah
politik, kontradiksi sebagai risiko selalu urung menjadi isu yang produktif
karena bahasa politikus gampang sekali
ditebak motivasi dan maunya.
Berlainan dengan itu, tak ada pengetahuan para
politikus hari ini ihwal khalayak lebih dari apa yang mereka dapatkan dari
lembaga survey. Ini ditambah lagi dengan konspirasi mereka dengan media
sebagaimana disebut Geoff Mulgan dalam Politic
in an Antipolotical Age (1994:21). Media dan para politikus
mempropagandakan opini mereka, menguji melalui pengumpulan opini, dan
mendaur-ulangnya dengan legitimasi baru. Di situ, posisi khalayak pemilih tak
lebih hanya angka dan data-data statistik, bukan subjek.
Ruang
Bathin
Ruang bathin khalayak ialah ruang yang dimasuki oleh
seorang seniman. Dari ruang inilah ia menangkap berbagai gagasan kesadaran demi
merepresentasikan ruang batin khalayak. Dan sampai hari ini kita belum juga
menjumpai seniman politik yang menaruh dan menatap khalayak dengan serupa
Soekarno, Sjahrir,Tan Malaka, dan para tokoh pergerakan yang paham nian apa
yang ada dalam benak khayalaknya dan bagaimana memengaruhi mereka.
Kesadaran terhadap ruang bathin khalayak amat
ditentukan oleh bagaimana sebenarnya seorang politikus memaknai dunia politik,
juga motivasi atau tujuannya menjadi politikus. Politikus yang memaknai dunia
politik serupa lapangan kerja tentu saja tak punya keperluan apa pun selain
menjadikan khayalak sebagai kantong berisi suara yang dibutuhkan lima tahun
sekali.
Oleh sebab itu, pinjam tamsil Nyoman Anjani, polikus
sejenis ini adalah “seniman” yang tak melukis apa pun di atas kanvas selain
lukisan yang diinginkannya. Lukisan yang kerap kasar dan norak. Bila 2014 disebut sebagai tahun politik,
sampai hari ini khalayak masih menyaksikan panggung politik dimainkan oleh para
aktor dengan akting yang jelek. Seni peran yang datar, garing, dan norak.
Dan menanti
seniman politik rasanya sama dengan menunggu Godot. Bila pun ada, itu sekadar seniman dan selebriti
yang ujug-ujug jadi politikus, memainkan perannya sebagai anggota DPR atau Kepala Daerah. Saking bagusnya
mereka memainkan perannya, dalam segala hal mereka tak ada bedanya lagi dengan
pejabat dan politikus kebanyakan. Pejabat dan politikus sekadar.**
SUMBER: Pikiran Rakyat, 21 Februari 2014
apik bung
BalasHapus