“Apa
pangkatnya Tan Malaka itu?” Tanya Tan Malaka. “Kolonel!” Kata Pedagang itu
dengan yakin.
Banyak kalangan
pergerakan di Indonesia mengira ia telah tewas atau tak lagi mengenalinya.
Bahkan kalangan pemuda seperti Sukarni, Chaerul Saleh, Adam Malik, dan Sjahrir—yang
bergerak di bawah tanah dalam pendudukan Jepang—tak menduga bahwa orang yang
mereka panggil dengan “Pak Husein” yang selalu hadir dalam rapat gelap pemuda
menjelang proklamasi itu adalah Tan Malaka. Orang yang risalahnya selalu mereka
baca dan namanya kerap mereka sebut-sebut dalam rapat, tanpa tahu Tan Malaka
berada di situ.
“Bergelap-gelap dalam
terang, berterang-terang dalam gelap” inilah prinsip sandiwara Tan Malaka.
Dengan sandiwaranya ini pula, sebagai “Ilyas Husein” ia bekerja di tambang
batu-bara Bayah Banten. Saking apiknya Tan Malaka bersandiwara, ketika Soekarno
mengunjungi Bayah ia sempat pula mendebat dengan Soekarno ihwal kemerdekaan
yang dijanjikan Jepang.
Seperti juga Tanjung Morawa Deli dan
Semarang, Bayah Banten menjadi tempat yang penting dalam menelaah perjuangan Tan
Malaka. Di tempat ini ia berada langsung bersama para romusha, mengurusi,
mendengar dan melihat langsung penderitaan mereka sebagaimana ditulisnya dalam
buku“Dari Penjara ke Penjara” Jilid II. Dan di Bayah ini pula TM memperlihatkan
bakatnya yang lain dalam ihwal sandiwara-bersandiwara. Seraya tetap
bersandiwara sebagai Ilyas Husein, Tan Malaka membuat kelompok sandiwara yang
dimainkan oleh para romusha.
Bila Soekarno semasa
pembuangan di Ende Flores menamakan kelompok sandiwaranya “Kelimutu”, dalam “Penjara ke Penjara” tak ada keterangan
apa nama kelompok sandiwara yang dibentuk Tan Malaka. Tetapi yang jelas, dialah
yang menulis lakonnya sekaligus sutradaranya. “Supaya pendirian sandiwara ini
tidak mencurigakan kempei, maka sandiwara dijadikan saja “bagian hiburan” yang
dimasukkan ke dalam anggaran dasarnya Badan Prajurit Pekerja (BPP) yang sudah
diakui oleh tentara Jepang. Saya sendiri yang menulis lakonnya, dan memilih
pemain dan melatih pemainnya,” tulisnya.
Lakon
Perlawanan
Kelompok sandiwara itu
bagi Tan Malaka bukan hanya sarana hiburan Prajurit Pekerja— efeumisme yang
digunakan Jepang untuk romusha. Melainkan juga sebagai strateginya menggunakan
kesenian demi menularkan kesadaran perlawanan atas imprealisme. Lakon
pertamanya berkisah tentang nasib kaum romusha yang terbuang sebagai “sepah
tebu yang dibuang sesudah manisnya habis”. Sukses dengan pertunjukan ini Tan Malaka
mengambil hikayat Hang Tuah dalam pertunjukan sandiwaranya. Dengan cerdik kisah
ini difokuskan Tan Malaka pada para
elite pemimpin yang menjunjung tinggi majikannya, namun rakyatlah yang menderita.
Sebuah sindiran yang diarahkan Tan Malaka pada tokoh pergerakan yang
bekerjasama dengan Jepang dan membiarkan rakyat sengsara ditindas.
Pertunjukan sandiwara
ini mendapat sambutan, bahkan hingga ke cabang-cabang tambang batu-bara lainnya
di Bayah. Pada pertunjukan berikutnya Tan Malaka kembali mengambil ide cerita
dari kisah kepahlawanan di Nusantara, seperti, lakon Diponegoro atau Puputan
Bali. “Di sini pun dimajukan kritik yang tajam terhadap imprealisme beserta
anjuran yang tegas kepada prajurit, pemuda, dan rakyat agar bersatu menjunjung
tinggi hasrat kemerdekaan,” tulisnya lagi.
Lama kelamaan kelompok
sandiwara ini semakin dikenal. Demikian pula group orkestra, wayang dan
kelompok gamelan yang diusahakan Tan Malaka pada tentara Jepang. Ia menuturkan
lakon-lakon yang mereka mainkan tentulah tak luput dari sensor tentara Jepang.
Dan bila terjadi demikian Tan Malaka maju ke muka melobi para tentara Jepang
atas nama kebutuhan hiburan para romusha.
Tan Malaka mengerti
benar kekuatan bahasa seni untuk menularkan gagasan. Ia paham kekuatan yang
tersembunyi dalam suatu bahasa, juga watak dari biografi tubuh orang Indonesia
yang tentu tak akan dipahami maknanya oleh tentara Jepang. Ia menulis, “Siapa
pula di antara penonton Jepang yang mengerti apa yang terselip dalam bahasa
Indonesia yang penuh dengan sindiran itu? Teristimewa pula apa yang terselip
dalam gerakan badan dan wajah pemain, walaupun pemain itu tiada mengeluarkan
perkataan apa-apa.”
Fungsi
Seni
Perhatian Tan Malaka pada
seni bisa dilacak ke belakang. Bukan hanya karena ia pernah tampil sebagai
sebagai pemain cello dan biola dalam orkestra di sekolahnya semasa di
Kweekschool Bukittinggi atau ketika di Rijskweekschool di Belanda. Dalam buku
yang menjadi Magnum Opus-nya
“Madilog”, secara khusus Tan Malaka ada membicarakan ihwal hubungan seni dan masyarakat dalam sebuah pasal. Bahkan dalam Lampiran “Madilog”, ia mengurai
pula bagaimana semestinya kesenian bisa memperkuat jasmani, pikiran, perasaan,
cita-cita, dan iman manusia. Seni, kata dia, mesti berdasarkan atas kehidupan.
“Bukan sebaliknya
seperti candu yang merusakkan dada, pelesir jauh malam merusakkan kesehatan,
obrolan tak karuan merusakkan perasaan dan kehormatan. Dengan begitu seni
tidaklah bisa dipisahkan dari hidup. Seni mesti berdasar atas hidup! Sebaliknya
hidup manusia harus pula berdasarkan seni,” tulis Tan Malaka.
Sebagai aktivis
pergerakan yang mengembara dengan berbagai nama, Tan Malaka telah fasih benar memahami
semua itu. Seni bersandiwara memainkan perannya dalam berbagai nama menghindari
mereka yang memburunya. Dan di Bayah Banten, ia menggunakan seni sandiwara itu untuk
menularkan kesadaran perlawanan pada para romusha. (Ahda Imran)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar