Oleh Ahda Imran
JANUARI
2013 penerbit PT JurnalSajak Indonesia
menerbitkan buku bertajuk “Puisi Esai Kemungkinan Baru Puisi Indonesia” (PEKBPI). Dieditori oleh penyair Acep Zamzam Noor, buku
ini sepenuhnya menyoal ihwal puisi esai. Ragam puisi baru yang digagas oleh
D. Jauhar Ali, konsultan politik termashur di Lingkar Survey Indonesia (LSI), yang pada 2012 menerbitkan
kumpulan puisi esai “Atas Nama Cinta” (ANC).
Seraya memuat ulasan perihal kumpulan ANC, PEKBPI memuat pula segala ihwal yang bersangkut soal
dengan puisi esai..
Dalam sejarah sastra Indonesia, belum pernah ada
sebuah buku diterbitkan demi menyambut kumpulan puisi seorang penyair seperti ANC. Tidak tanggung-tanggung, para
penulis yang mengulas kumpulan itu pun adalah sejumlah tokoh berpengaruh, Sutardji
Calzoem Bachri, Sapardi Djoko Damono, Ignas Kleiden, Leon Agusta, Agus
R.Sardjono, Jamal D.Rahman. Pada intinya, PEKBPI
menyambut kehadiran kumpulan D. Jauhar Ali tersebut sebagai pemberi kesegaran bagi
perpuisian Indonesia.
Januari 2014 terbitlah buku “33 Tokoh Sastra
Indonesia Paling Berpengaruh” (33 TSIPB).
Diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Buku ini disusun oleh mereka yang menamakan Tim 8; Jamal D.Rahman, Acep Zamzam Noor, Ahmad Gaus, Berthold Damshauser, Joni Ariadinata, Maman S,Mahayana, Nenden Lilis Aisyah, Joni Ariadinata. Selain menulis biografi dan kiprah ke 33 tokoh sastra yang terpilih, mereka sebelumnya juga bertindak sebagai tim juri yang menyeleksi. Dalam buku yang ingin menjadi penampang bagi keperluan mengetahui sosok-sosok mereka yang telah berkiprah dan dianggap memberi pengaruh pada dinamika kesusastraan Indonesia selama satu abad ini, di antara ke-33 nama itu, tersebutlah D. Jauhar Ali.
Diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Buku ini disusun oleh mereka yang menamakan Tim 8; Jamal D.Rahman, Acep Zamzam Noor, Ahmad Gaus, Berthold Damshauser, Joni Ariadinata, Maman S,Mahayana, Nenden Lilis Aisyah, Joni Ariadinata. Selain menulis biografi dan kiprah ke 33 tokoh sastra yang terpilih, mereka sebelumnya juga bertindak sebagai tim juri yang menyeleksi. Dalam buku yang ingin menjadi penampang bagi keperluan mengetahui sosok-sosok mereka yang telah berkiprah dan dianggap memberi pengaruh pada dinamika kesusastraan Indonesia selama satu abad ini, di antara ke-33 nama itu, tersebutlah D. Jauhar Ali.
Inilah yang menjadi salah satu pokok soal yang
membuat banyak orang bereaksi keras, terutama di media-sosial, hanya beberapa
jam setelah buku 33 TSIPB diluncurkan
di PDS. HB Jassin, 3 Januari 2014. Reaksi yang tak sekadar mengkritik, namun juga
berisi sinisme, tuduhan, dan makian yang dialamatkan pada Tim 8. Tak cukup
hanya itu, sejumlah sastrawan pun menyebarkan petisi agar buku itu
dipertimbangkan peredarannya karena dianggap menyesatkan. Baik dari metodelogi
penulisan, parameter pemilihan yang didesakkan pada nama D. Jauhar Ali
Yang
Mungkin, Yang Pasti
Buku 33 TSIPB menjadi menarik bila dihubungkan dengan buku yang terbit setahun sebelumnya, PEKBPI . Sebuah hubungan yang menggiring
amatan bagaimana sesuatu yang sebelumnya dikategorikan sebagai “yang mungkin”
tiba-tiba telah menjadi “yang pasti”. Peralihan ini menarik sebab bersangkut
ihwal dengan proses, peran, dan kontribusi kekaryaan seseorang dalam dunia
sastra yang, sekali lagi, dari semula berada dalam atau dikategorikan sebagai “Kemungkinan Baru” telah menjadi
suatu keniscayaan. Keniscayaan bahwa Jauhar
Ali dan puisi esai yang digagasanya
telah memberi pengaruh pada gairah perpuisian Indonesia kontemporer, yang secara
menakjubkan itu terjadi hanya dalam rentang waktu satu tahun!
Tentu amatan atas hubungan kedua buku ini bisa saja keliru.
Tetapi, setidaknya terdapat pula fakta bahwa enam penulis dalam PEKBPI (Acep Zamzam Noor, Ahmad Gaus,
Agus R.Sarjono, Jamal D. Rahman, Maman S. Mahayana, Nenden Lilis Aisyah) adalah
pula anggota Tim 8. Fakta ini lagi-lagi menggiring ke arah amatan atas kemungkinan
adanya hubungan kedua buku tersebut. Komposisi
penulis dan penyusun 33 TSIPB (Tim 8) pun tak kalah menariknya bila
mencermati fakta bahwa lima dari mereka (Acep Zamzam Noor, Agus R.Sarjono,
Ahmad Gaus, Berthold Dammhausser, Jamal D.Rahman) adalah pula Redaktur Jurnal
Sajak, media yang memiliki halaman Puisi Esai, yang salah seorang Pemimpin Umumnya
adalah D. Jauhar Ali
Tanpa lantas mendakwa bahwa komposisi Tim 8 dan
fakta semacam itu telah turut memengaruhi peralihan “yang mungkin” (PEKBPI) menjadi “yang pasti” (33 TSIPB) dalam konteks D. Jauhar Ali. Namun, ada kesan yang sulit dielakkan bahwa
puisi esai sebagai suatu gerakan yang sporadis diusung ke tengah publik, digerakkan
atau disyiarkan oleh jaringan yang itu-itu juga, dan media yang itu-itu juga.
Kehadirannya di medan sosial sastra (rubrik puisi esai di Jurnal Sajak,
penerbitan puisi esai, sayembara penulisan puisi esai, ulasan dan kritik,
workshop di kampus) selalu digerakkan oleh jaringan yang mudah ditebak. Dari
sembilan buku yang terbit ihwal puisi esai, hanya dua buku yang bukan
diterbitkan oleh Penerbit Jurnal Sajak.
Inilah yang melainkan medan sosial puisi esai dan puisi
mbeling yang menjadi fenomena menarik tahun 1970-an yang berawal dari Majalah Aktuil. Namun demikian, tak ada yang salah dengan
strategi memasuki medan sosial sastra seperti yang dilakukan oleh jaringan gerakan
puisi esai. Medan sosial sastra bisa saja diciptakan, bahkan direkayasa, demi
merayakan apa yang diyakini sebagai keberagaman konsepsi estetika puisi.
Termasuk dengan menyediakan jumlah nominal hadiah uang yang mencengangkan dalam
berbagai sayembara penulisan puisi esai,
atau nilai honorarium bagi sejumlah penyair yang untuk itu mereka
bersedia dan tertarik menulis puisi esai, lalu karya mereka diterbitkan.
Akal
Sehat
Tetapi, seluruhnya menjadi genting ketika jaringan
gerakan itu memakai rekayasa atau penciptaan kondisi medan sosial yang mereka
kerjakan tersebut, dalam posisi sebagai Tim 8. Meski tentu tidak seluruhnya
komposisi Tim 8 diasumsikan sebagai bagian dari gerakan puisi esai, namun
relasi struktural antara Tim 8 dan gerakan puisi esai mustahil ditiadakan. Pada konteks semacam inilah menjadi lumrah
bila banyak orang mempertanyakan dimasukkannya D. Jauhar Ali oleh Tim 8 ke
dalam 33 TSIPB .
Sebaliknya, bagi sebagian besar anggota Tim 8 tentu sangatlah
tidak masuk akal bila nama D. Jauhar Ali, "penggagas" puisi esai yang didaku telah menjadi fenomena dan trend itu, tidak dimasukkan ke dalam daftar 33
tokoh sastra yang paling berpengaruh. Karena itu akan sama halnya dengan memberi angka merah pada semua
yang telah mereka kerjakan demi gerakan puisi esai. Hanya tim marketing yang bodoh yang tidak menyebut produknya sebagai produk terbaik. Hanya tim sukses yang lugu yang tidak mengatakan calon yang diusungnya adalah calon yang paling amanah. Dengan memasukkan nama D.
Jauhar Ali maka sebagian besar anggota Tim 8 seolah ingin merayakan suksesnya gerakan mereka selama ini, sehingga menemukan alasan untuk mengubah
“yang mungkin” menjadi “yang pasti” hanya dalam waktu satu tahun.
Akhirnya, sekali lagi, sangatlah sulit mencerna
dengan akal sehat dimasukkannya D. Jauhar Ali dari amatan atas komposisi
sebagian besar anggota Tim 8 dan hubungannya dengan jaringan gerakan puisi
esai. Seperti sangat sulitnya untuk tidak menyebut bahwa perbuatan itu
merupakan penghinaan terhadap akal sehat. Dalih bahwa mereka berada dalam Tim 8
dalam kapasitas pribadi, tentu saja mudah sekali dipatahkan.
Namun, tidaklah lantas pikiran ini sedang mengatakan
bahwa buku 33 TSIPB tidak menyimpan masalah seandainya D. Jauhar
Ali tidak berada di dalamnya. 33 tulisan di dalamnya tak lebih sekadar esai-esai
lepas yang abortif menjelaskan
tanggung-jawabnya pada frase judul yang provokatif itu, “Paling Berpengaruh”. Jangan
lagi menjelaskan makna pengaruh itu dalam mata rantai dan dialektika kreatif
ke-33 sastrawan tersebut. Selintas buku ini mirip buku “Dermaga Sastra
Indonesia: Dari Raja Ali Haji sampai Suryatati A. Manan” (Penerbit Komodo:
2010), yang memuat sejumlah tulisan profil para sastrawan Tanjungpinang. Dan
mungkin hanya kebetulan bila ketua penyusun buku ini adalah juga Jamal.D.
Rahman.
Pula, tidaklah lantas pikiran ini sedang mengatakan
bahwa nama D. Jauhar Ali akan menjadi logis dimasukkan ke dalam buku 33 TSIPB
seandainya komposisi Tim 8 itu berbeda. Setidaknya, dengan komposisi
yang berbeda tim itu lebih dulu akan berpikir keras menaruh pengertian “Paling
Berpengaruh”, mengeluarkannya dari pemahamannya yang abstrak dan bisa diterima
akal sehat. Mungkin tim itu akan berdebat berbulan-bulan sampai bosan,
frustasi, dan akhirnya sepakat, bahwa buku semacam itu tak ada faedahnya diterbitkan.
Ahda
Imran, penyair
Saya sudah membacanya, Pak Ahda Imran. Tksh
BalasHapusTerima kasih M.Faizi. Salam hangat dari Bandung
Hapus