---Ahda
Imran, penyair dan
esais
TENTU
tak patut mensyukuri robohnya atap Timur gedung bersejarah YPK Bandung. Tetapi,
justru peristiwa itulah yang membuat saya dan para seniman bisa bertemu dan
berdialog dengan Bapak Wagub Jabar. H. Deddy Mizwar di Gedung YPK Bandung, 1
Agustus lalu. Sebuah pertemuan yang menarik demi membincang sejumlah ihwal
dalam politik kesenian Pemrov Jabar.
Terutama yang bersangkut ihwal dengan nasib Gedung YPK dan DKJB. Saya tidak tahu, apakah bila atap gedung YPK
tidak roboh dialog semacam itu akan bisa berlangsung? Apakah para seniman akan
bisa mendengar apa yang telah dilakukan oleh lembaga kebudayaan seperti DKJB
sebagaimana diuraikan oleh Prof. Ganjar Kurnia? Pertemuan hari itu memang
sebuah ironi.
Tetapi, Pak Wagub, yang paling membuat saya berbahagia dalam dialog hari itu karena bisa mendengar sejumlah pemaparan bapak. Bukan hanya yang langsung bersinggungan dengan perkara yang sedang diperbincangkan, yang muncul dari reaksi para seniman dan aspirasi yang mereka suarakan. Melainkan, bagaimana sejumlah jawaban bapak tersebut juga banyak menjelaskan suatu pandangan ihwal pembangunan seni-budaya di Jabar. Lebih jauh lagi apa dan bagaimana perspektif bapak melihat pembangunan politik kebudayaan dan peran pengelola negara di dalamnya.
Sebagai seniman, saya
yakin bapak akan menyorongkan suatu sudut pandang yang berbeda dengan pejabat
yang mati-matian bersolek kata dan laku agar disebut seniman budayawan. Namun,
ternyata harapan saya berlebihan.
Bahkan, setelah mendengar semua pemaparan dan penjelasan bapak dalam forum
dialog itu, saya merasa menemukan ironi berikutnya.
Rejim
Sok Tahu
Menanggapi pandangan-pandangan kritis para seniman
ihwal DKJB, terutama proses pembentukan dan fungsinya, bapak ada mengatakan aspirasi
serta gagasan para seniman dan aktivis budaya di Jabar bisa disampaikan pada
DKJB. Pernyataan ini artinya menaruh DKJB , yang keanggotaannya dipilih
gubernur berdasarkan Pasal 7 ayat 3 Pergub No. 70 Th. 2014, sebagai lembaga yang merepresentasikan khalayak
seniman budayawan di Jabar.
Pertanyaannya, Bapak
Wagub, apakah mungkin suatu lembaga yang diposisikan sebagai representasi dari
khalayak seniman budayawan keanggotaannya dipilih oleh kuasa gubernur? Bukankah
kesan kuat yang muncul, alih-alih merepresentasikan khalayak seniman budayawan,
DKJB justu lebih merepresentasikan kuasa gubernur? Apakah kuasa gubernur juga
di situ berarti kuasa pengetahuan siapa mereprentasikan apa dan siapa?
Reaksi para seniman
budayawan yang mengkritisi DKJB sebenarnya bisa dimaknai tidak melulu sebagai
penolakan atas kuasa gubernur semacam itu. Tetapi, reaksi itu juga membuktikan
bahwa kuasa pengetahuan gubernur tersebut tak menemukan pembuktian atau
pembenarannya sebagai sebuah representasi. Khayalak seniman budayawan pada
nyatanya tidak pernah merasa bahwa DKJB merepresentasikan gagasan mereka,
termasuk yang ditautkan dengan keperluan membangun strategi kebudayaan di
Jabar.
Dan tampaknya DKJB pun,
sepanjang mengemuka dalam dialog, atau yang termaktub dalam pergub, tidak
mendaku sebagai sebuah lembaga yang merepresentasikan khalayak aktivis budaya
dan seniman. Oleh sebab itulah, mungkin jadi bisa dipahami jika sebagai lembaga
kebudayaan DKJB tidak pernah sekalipun terdengar mengeluarkan pernyataan sikap
di tengah isu-isu kebudayaan yang ramai terjadi di Jabar. Dan karena itu pula,
DKJB tidak merasa punya kewajiban merangkul atau menjalin komunikasi dengan
para penggiat kesenian dan para ativis budaya di Jabar.
Akhirnya kuasa
pengetahuan gubernur ihwal mekanisme pemilihan anggota DKJB yang dianggap representatif tersebut, lebih mencerminkan watak dari suatu
rejim yang sok tahu. Ketimbang berangkat dari suatu pengetahuan bahwa kebudayaan adalah ruang publik. Watak
yang, meminjam istilah Heru Hikayat (“1 Agustus di Gedung YPK. Pikiran Rakyat,
6 Agustus ), menyangkal inklusivitas; syarat bagi keberlangsungan kebudayaan
yang lebih demokratis.
Kita bisa menebak,
Bapak Wagub, strategi kebudayaan seperti apa yang dimulai dengan watak semacam
ini. Watak rejim yang sok tahu ini pada tahun 1999 pernah pula dipamerkan oleh
kuasa Gedung Sate dalam menyusun kepengurusan Dewan Kesenian Jawa Barat (DKJB),
dan hasilnya centang perenang. Bukankah suatu ironi jika itu diulangi, apalagi
sekarang dengan label gagah “kebudayaan”?
Bahwa kemudian
penunjukan itu hanya berlaku dalam satu periode, sebagaimana mengemuka dalam
pergub, dan seterusnya keanggotaan DKJB ditentukan oleh rapat anggota untuk
menentukan siapa menggantikan siapa; itu
pun tidak lantas membuat DKJB berdiri di landasan yang demokratis. Bukankah itu
justru memperlihatkan bagaimana tradisi kuasa penunjukkan justru sedang
diturunkan atau diwariskan? Dan karena
itulah, Bapak Wagub, dengan alasan yang tentu berbeda, saya sepakat dengan apa
yang bapak katakan, bahwa mekanisme semacam itu belum pernah dilakukan di
Indonesia.
Internasional
Dalam dialog di YPK
hari itu, Bapak Wagub, yang tak kalah menariknya adalah menyimak
pandangan politik kesenian bapak dan orientasi capaiannya, yakni, dunia internasional.
Betul sekali bahwa pergaulan di ranah budaya global menjadi suatu keniscayaan,
bahkan kian mendesak. Even-even kesenian menjadi pintu masuk yang ampuh bagi
pergaulan internasional. Dan ini bukan sesuatu yang pelik. Jaringan kerja para
seniman dan komunitas kesenian di seluruh dunia, memudahkan orang memproduksi
even-even semacam itu.
Hanya saja ketika
orientasi internasional itu berkesan menjadi satu-satunya hasrat dalam praktik
kebijakan politik kesenian, maka hasrat tersebut sesungguhnya mengandung ironi
juga. Dan inilah yang terjadi di Jabar. Politik kesenian dengan hasrat masuk ke
dalam pergaulan internasional, seraya berpura-pura lupa bahwa yang global dan
yang internasional itu bertulangpunggung pada yang lokal. Oleh sebab itulah,
bisa dipahami bila even-even lokal posisinya dalam politik kesenian Pemrov
Jabar, tidak seperti yang diberikan pada sejumlah even yang berlabel
internasional.
Mengabaikan dinamika
lokal, termasuk dalam infrastruktur, demi hasrat mencapai pergaulan
internasional, akhirnya menjelaskan sampai sejauh mana sebenarnya globalitas atau
yang internasional itu sedang dipahami. Tanpa bertopang pada lokalitas atau
dinamika lokal, pergaulan internasional yang dibayangkan lebih merupakan
pergaulan tanpa kesetaraan. Tanpa bertopang pada lokalitas dan dinamika lokal,
apalagi seraya mengabaikannya, jangan-jangan orientasi internasional itu tak
lebih sebagai hasrat politik ketimbang ditujukan bagi pembangunan
kesenian.
Bapak
Wagub, akhirnya saya jadi ingat pada perumpamaan Denxiaoping manakala ia
mereformasi Tiongkok. Ia mengatakan, “Membangun China seperti menyeberangi sungai dengan
merasakan setiap bebatuan di dasar kali yang terinjak oleh kaki telanjang”. Niscaya demikian pula semestinya pembangunan
di lapangan kebudayaan dan politik kesenian di Jabar. Terlebih lagi kebudayaan
merupakan ranah yang demikian abstrak, luas, dan pelik. Ranah yang mustahil
dibangun melaui ucapan oleh seorang bintang iklan sosis, “Tinggal lep!”**
Catatan: Dalam versi yang lebih ringkas tuan dan puan bisa menemukan esai ini di HU Pikiran Rakyat, 9 Agustus 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar