Mythopoesis, Urban Pastoral
Suatu Kemungkinan Membaca “Rusa Berbulu Merah”
---TIA SETIADI
A myth was an event which, in some sense, had
happened once, but which also happened all the time.
(A Short History of Myth, Karen
Amstrong)
These fragments I have shored against my ruins.
(
The Waste Land, T.S.Elliot)
/1/
Bisa dikatakan bahwa
kumpulan sajak Ahda Imran yang terbaru bertajuk “Rusa Berbulu Merah” adalah sajak-sajak
yang sadar diri, puisi-puisi yang tertegun merenungkan dirinya . Bagian pertama dan
bagian terakhir dari kumpulan ini adalah sajak tentang sajak, bagaimana sajak
dibuat, bagaimana perannya dalam menemukan diri dan melampauinya, menemukan universum
yang lain dan merekonsiliasinya, membersihkan dan menciptakan bahasa dan defleksi-defleksinya,
kutukan-kutukannya. Kata-kata seperti bergulung pada dirinya, dan seraya
demikian juga menyucikan dan membeningkan dirinya. Maka dengan begitu kumpulan sajak Ahda ini ibarat sirkuit, suatu
putaran melingkar yang awalnya adalah juga akhirnya. Di tengah-tengahnya si aku
lirik menjelma desisan ular, rusa berbulu merah, burung-burung, kaki angin dan
malam dan kelok jalan, orang lain dan makhluk lain. Dan pada akhirnya—menyitir
kalimat Octavio Paz—“citra tentang manusia menjadi terlahirkan dalam manusia.” Si
aku lirik menjelma citra yang merekonsiliasi—dan mentranformasi—segala anasir
yang bersitentang, puisi yang menciptakan dirinya, dan berbicara kepada
dirinya, dengan dan melalui dirinya.
Ruh kumpulan sajak ini agaknya
terkondensasi dalam bagian akhir Empat
Pelajaran Menulis Puisi. Kredo puisi yang ditulis dengan puisi, sekaligus
membabarkan stasi-stasi yang ditempuh penyair dalam menulis puisi. Saya
mendapati bahwa stasi-stasi ini ham