---AHDA
IMRAN
KARENA
bentuk payudaranya yang elok, Florita diperkosa oleh ayah tirinya. Hamil lalu
mati bunuh diri. Ervina, adiknya, luput
dari kemalangan semacam itu karena ia payudaranya rata. Namun, karena takut Ervina
melarikan diri dan menikah. Dan di malam
pengantin barulah ia tahu bahwa jenis kelaminnya bukanlah perempuan. Bagian
tubuhnya yang ia sangka sebagai vagina ternyata penis. Nalar cerita tentu
segera saja mengangsurkan gugatan, sangat mustahil seseorang tidak mengenal dan
mengetahui jenis kelamin yang melekat di tubuhnya sampai ia menjadi
dewasa.
Maaf, bukan itu yang sedang diperkarakan. Metafora
kisahan itu sedang memperkarakan situasi tubuh perempuan di tengah hasrat kuasa
masyarakat lelaki. Situasi yang menaruh tubuh perempuan senantiasa menjadi
tubuh yang bersalah, sebagaimana terjadi pada payudara Florita. Karena itulah perempuan
kerap dipaksa harus keluar dari tubuhnya agar ia bukan lagi tubuh yang bersalah,
tubuh yang dikoloni. Pula demikian bila ingin melakukan perlawanan, tak ada
jalan lain bagi perempuan kecuali memiliki dan menjadi tubuh lelaki.
Inilah satu sisi yang diusung oleh Langit Amaravati
(Skylasthar Maryam) dalam kumpulan cerpennya “Payudara” (2012). Kumpulan pertama
yang mengantarkan pengarang muda Bandung ini mengikuti even sastra
internasional Ubud Writer & Reader 11-15 Oktober 2013 di Ubud Bali. Ada 27 cerpen dalam kumpulan ini yang
mengisahkan nasib perempuan dan reaksi perlawanannya atas kuasa telengas para
lelaki. Kuasa yang juga diperlihatkan oleh suatu kontruksi sosial dan tradisi yang
patriakis di tengah kemiskinan. Perempuan di situ akhirnya diringkus oleh dua
situasi yang menyakitkan; menjadi
perempuan dan menjadi orang miskin.
Peristiwa,
Narasi Gagasan
27 cerpen dalam kumpulan ini umumnya mengisahkan kemalangan
tubuh perempuan di tengah dominasi dan tabiat masyarakat lelaki dan bagaimana reaksi
perlawanan terhadapnya. Bagaimana reaksi perlawanan itu dinyatakan dengan konstruksi
peristiwa, di ruang inilah pengarang bekerja. Sebagai konstruksi peristiwa,
tidaklah selalu narasi perlawanan perempuan itu ternyatakan sebagai perlawanan.
Tetapi ada juga yang lebih terbaca sebagai reaksi yang sporadis dan spontan.
Reaksi yang pada akhirnya kian menaruh perempuan sebagai tubuh yang bersalah.
Pada ruang yang lain, narasi peristiwa juga menyuguhkan konstruksi perlawanan
yang dilakukan sebagai suatu kesadaran.
Dan seluruhnya inilah yang dihadirkan sebagai narasi
peristiwa perlawanan yang sekaligus menjadikannya sebagai narasi gagasan,
sebagaimana mengemuka dalam “Payudara”. Peristiwa
jenis kelamin Ervina yang ternyata bukanlah perempuan, hadir sebagai metafora
gagasan ihwal tubuh dalam relasi kuasa jender. Menjadi tubuh lelaki adalah
keluar melucuti tubuh perempuan yang selalu dianggap bersalah.
Akan tetapi, benarkah perlawanan hanya bisa
dilakukan dengan menjadi tubuh lelaki?
Dalam “Ini Bukan Tentang Kematian
Yusran” perempuan memaknai tubuhnya sebagai gagasan untuk melakukan perlawanan
dan pembalasan. Maisyani menikah dengan lelaki kaya yang menabrak mati
suaminya. Suami yang tak hanya membawanya hidup melarat tapi juga menghamili
perempuan lain. Dalam konteks ini perempuan menjadikan pesona tubuhnya untuk menjerat
lelaki yang menabrak mati suaminya, yang dengan itu ia sekaligus melakukan
pembalasan. Pada bagian inilah tubuh Maiyasni hadir sebagai metafora tubuh
perempuan yang menjadi subjek otonom.
Berlawanan dengan itu ialah peristiwa sporadis yang
dilakukan perempuan sebagai reaksi atas kesengsaraan di luar batas penerimaanya.
Dan reaksi sporadis semacam ini ternyata
tak bisa meloloskan perempuan dari tubuh yang bersalah. Isum yang bersembunyi
setelah membakar rumah dan suaminya tidur bersama seorang pelacur dalam kamar
(“Bagi Dunia Isum Sudah Mati”); atau kerinduan mayat seorang TKW pada emaknya
setelah menjalani hukuman mati sebab membunuh anak majikannya yang hendak
memperkosanya (“Rindu Emak”).
Umumnya lelaki dalam kumpulan ini diposisikan
sebagai antagonis yang nasibnya berakhir tragis, sebagai pecundang. Menarik, ada dua lelaki yang dilukiskan sebagai
tubuh pecundang sekaligus tubuh yang bersalah. Lelaki tampan pesolek tapi bodoh
(“Cantik”), dan suami yang soleh tapi
impoten (“Doa”). Konflik kedua cerpen
ini lagi-lagi bergerak di antara gagasan ihwal tubuh dan kekuasaan dalam relasi
jender. Dalam “Doa” superioritas lelaki
ditautkan pada kuasa tubuh dalam relasi seksualitas. Manakala kuasa itu tak bisa berfungsi atau
impoten, lelaki menemukan dirinya sebagai tubuh inferior.
Ritual doa dan bahasa agama menjadi satu-satunya
tempat untuk merawat superioritasnya atas tubuh perempuan. Dan atas nama dosa,
tubuh seorang istri menjadi tubuh yang dicemaskan, tubuh yang dicurigai akan
melakukan masturbasi dan zinah. Meski lelaki hadir sebagai tubuh pecundang,
lewat bahasa patriaki agama, di situ lagi-lagi perempuan diposisikan sebagai
tubuh yang bersalah, tubuh yang dicurigai.
Menonton
Cerita
Mengecualikan “Payudara” dan “Ini Bukan Tentang
Kematian Yusran”, Langit Amaravati menulis cerita dengan anatomi peristiwa yang
membuat tulisan tak ubahnya menjadi gambar. Pembaca seakan diajak masuk ke
dalam beragam adegan cerita sebagaimana menonton cerita. Dengan inilah arus cerita
menghadirkan konflik yang umumnya ditaruh dalam kerimbunan peristiwa dialog. Meski
begitu, cerita tidaklah lantas menaruh pembesaran pada apa yang lazim dijumpai pada
cerpen suasana.
Sebaliknya, visualisasi peristiwa dikonstruksi demi
mengartikulasikan gagasan pengarang. Gagasan yang tak hanya mengemuka dari
konflik, namun juga karakter penokohan, sudut pandang, dan peristiwa mengejutkan di ujung cerita ketika
perlawanan dan reaksi itu dinyatakan. Pada ruang yang lain, gagasan juga
ditaruh dalam dialog tokoh. Sebutlah, dalam “Doa” dan “Cantik” yang sepenuhnya
memposisikan tokoh lelaki melulu sebagai umpan bagi terlontarnya berbagai
pandangan atau argumen pengarang melalui tokoh perempuan.
Dalam “Cantik”, pembaca tidak diajak masuk ke dalam
peristiwa suasana dialog. Melainkan diajak menonton bagaimana kata-kata seorang
pengacara (perempuan) menghabisi lelaki pesolek dengan argumentasi yang jitu,
membuat tubuh lelaki tampak bodoh dan bersalah. Bahkan suara tokoh atau
deskripsi dalam dialog itu menyaran sebagai imajinasi gambar. “Anda bisa berpenampilan seperti apa saja,
sesuai keinginan. Sesuai pesanan. Tapi yang ini tidak,”telunjukku kembali
menunjuk kening. Lelaki di depanku diam, keningnya berkerut-merut, pertanda dia
sedang berpikir keras. Semoga saja” (Hal.25).
Tentu saja tak ada yang salah dengan dialog. “Kunang-kunang
di Manhatan” Umar Khayam, misalnya, adalah contoh menarik bagaimana dialog menjadi
artikulasi yang kuat dalam bangun kisahan. Namun, manakala dialog difungsikan
untuk mengembangkan konflik, latar, plot
cerita, visualisasi peristiwa, bahkan tempat pengarang menaruh
gagasannya, dialog jadi terasa benar menanggung beban berat. Akibatnya, dialog sekadar
menginformasikan kelebat permukaan problem di belakang peristiwa, tanpa intesitas
yang lebih jauh ke dalam eksplorasi tematiknya.
Selain itu, pembesaran narasi dalam peristiwa visual
yang membuat tulisan menjadi gambar juga menyimpan risiko pada keterbatasan
intesitas pendalaman cerita dan gagasan pemikiran di sebaliknya. Namun inilah risiko yang banyak dijumpai
dalam banyak teks karya sastra yang dicurigai sebagai bentuk dari pengaruh
kuasa budaya visual. Alih-alih melakukan perlawanan atas kuasa visual semacam
ini, tak sedikit sastrawan yang justru
terserap ke dalamnya. Sehingga teks karya sastra tak ubahnya dengan klip-klip
gambar dalam televisi.
Akan tetapi, mesti pula buru-buru dikatakan bahwa
seluruhnya itu tidaklah lantas menutup berbagai gelagat menggembirakan dalam kumpulan
“Payudara” Langit Amaravati. Dengan eksplorasi bahasa yang lolos dari sekadar
menjadi kendaraan cerita, pengolahan plot, atau pilihan tematiknya, gelagat
yang menggembirakan itu terasa benar. Gelagat yang kian mengarah pada
kehadirannya di tengah kelangkaan
generasi cerpenis Bandung, di tengah kegairahan
anak-anak muda yang ingin menjadi penyair. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar