AHDA IMRAN, penyair
dan esais
Dari buritan
pantai yang koyak
kapal-kapal
Laksamana Cheng Ho bertolak
menyusuri jejak
kaki ribuan mil puteri kaisar Cina Ong Tien Nio
BEGITU Ahmad
Syubbanuddin Alwy menulis dalam “Cirebon
630 Tahun Kemudian”. Sebuah sajak panjang yang seluruhnya menyuguhkan panorama
sejarah Cirebon. Seperti sajaknya kumpulan Bentangan
Sunyi (1996), dalam “Cirebon 630
Tahun Kemudian” sejarah itu hadir dalam nada yang getir; imaji-imaji visual
yang membentang di antara dua kegentingan; kemegahan dan kehancuran.
Sajak panjang itu, sebagaimana tabiatnya
puisi, menawarkan perspektif pemaknaan berikutnya atas sejumlah fakta historis,
sebagai sebuah catatan batin. Catatan yang mentautkan kesadaran ke dalam
kekinian. Catatan yang tentu berbeda dengan sejarah sebagai catatan lahir dari
suatu masa. Oleh sebab itu, dalam sejarah perpuisian Indonesia modern, puisi
panjang milik penyair kelahiran 28 Agustus 1962
itu bisa disebut sebagai puisi yang menarik dan langka, untuk
menyebutnya belum pernah ada. Ketika sejarah (lokal) dihadirkan dalam sebuah
puisi (epik) sebagaimana banyak terdapat dalam teks-teks tradisional.
Meski beberapa bagiannya telah dimuat
dalam media-massa, dibacakan dalam berbagai forum, dan pernah pula dimuat dalam
antologi tujuh penyair Jawa Barat Nafas
Gunung (2004), sajak “Cirebon 630 Tahun Kemudian” belumlah rampung. Alwy
(begitu penyair Cirebon ini akrab disapa) masih terus berupaya
menyelesaikannya. Ia masih terus menelaah berbagai sumber, bolak-balik mendatangi
sejumlah tempat yang menjadi penanda penting dalam sejarah Cirebon. Ia
mengerjakan puisi itu dengan kesabaran yang luar biasa. Ia habis-habisan
mengerahkan semua kemampuannya demi satu sajak itu, seakan ia tak akan pernah lagi
menulis sajak.