Jumat, 30 Mei 2014

Utopia Para Pemuja




Oleh Ahda Imran

PILPRES  2014 tampaknya tengah memberi gelagat ke arah realitas demokrasi yang disesaki para pemuja. Meski belum tentu berlaku sebaliknya, sebagaimana ghalibnya para pemuja sekaligus adalah para pembenci. Dengan dua pasangan capres-cawapres (Joko Widodo-Yusuf Kalla; Prabowo Subianto-Hatta Rajasa), terutama di jejaring media-sosial, para pemuja kedua kubu riuh saling serang. Memuja kandidat pilihan seraya menaruh kebencian yang sengit pada kandidat pesaing.  Jejaring media-sosial lalu menjadi “Kurusetra”; perjumpaan para pemuja sekaligus pertempuran para pembenci.

Karnaval para para pemuja ini tak sebatas hanya diikuti khalayak awam, melainkan pula para elite politik di kedua kubu pasangan. Seperti para pemuja lainnya, orang-orang terhormat ini pun berlaku sama. Rajin melontarkan sinisme ke arah figur kandidat pesaing, dengan agresivitas yang sama dengan khalayak awam.

Minggu, 25 Mei 2014

Sakitnya Merawat Harapan




---Ahda Imran, penyair dan esais

MESKI  kian berselisih jalan dengan yang apa selalu dijanjikan, belumlah cukup alasan untuk berhenti menaruh harapan pada demokrasi. Harapan bahwa dinamika politik bukan melulu rutinitas yang serba teknis prosedural. Namun, membawa nilai yang mewujud bagi kemaslahatan dan kedaulatan khayalak, kebebasan, kesetaraan, dan keadilan. Dan seakan tengah mengamalkan ungkapan Erich Formm, bahwa harapan adalah tiang penyangga dunia, di Indonesia khalayak merawat tiang penyangga itu dengan tangan yang sakit. 

Selasa, 06 Mei 2014

Mei 1998 dan Politik Ingatan




  ---Ahda Imran , penyair & esais

AWAL tahun 1998, di tengah semangat reformasi dan ketegangan yang kian mengancam 32 tahun kejayaan Orde Baru, ada terbit sebuah buku, “Mereka dari Bandung:Pergerakan Mahasiswa Bandung 1960-1967”.  Buku setebal 524 halaman itu ditulis oleh Hasyrul Moechtar, diterbitkan oleh Penerbit Alumni. Buku ini terbit di tahun yang genting. Tahun penghujung dari apa yang ingin diingat dalam buku tersebut, perjuangan para mahasiswa yang turut membidani lahirnya Orde Baru.  Seluruh halaman buku seakan hadir demi memaknai masa silam yang jejak perjalanannya di tahun 1998 itu oleh para mahasiswa sedang mati-matian ditumbangkan.  Dan empat bulan setelah buku itu terbit, kejayaan Orde Baru berakhir.