Senin, 24 Maret 2014

Esai Penutup "Rusa Berbulu Merah"




Mythopoesis, Urban Pastoral
Suatu Kemungkinan Membaca “Rusa Berbulu Merah”

                                                          ---TIA SETIADI

A myth was an event which, in some sense, had happened once, but which also happened all the time.
(A Short History of Myth, Karen Amstrong)

These fragments I have shored against my ruins.
( The Waste Land, T.S.Elliot)

/1/
         
Bisa dikatakan bahwa kumpulan sajak Ahda Imran yang terbaru bertajuk Rusa Berbulu Merah adalah sajak-sajak yang sadar diri, puisi-puisi yang tertegun merenungkan dirinya . Bagian pertama dan bagian terakhir dari kumpulan ini adalah sajak tentang sajak, bagaimana sajak dibuat, bagaimana perannya dalam menemukan diri dan melampauinya, menemukan universum yang lain dan merekonsiliasinya, membersihkan dan menciptakan bahasa dan defleksi-defleksinya, kutukan-kutukannya. Kata-kata seperti bergulung pada dirinya, dan seraya demikian juga menyucikan dan membeningkan dirinya. Maka dengan begitu  kumpulan sajak Ahda ini ibarat sirkuit, suatu putaran melingkar yang awalnya adalah juga akhirnya. Di tengah-tengahnya si aku lirik menjelma desisan ular, rusa berbulu merah, burung-burung, kaki angin dan malam dan kelok jalan, orang lain dan makhluk lain. Dan pada akhirnya—menyitir kalimat Octavio Paz—“citra tentang manusia menjadi terlahirkan dalam manusia.” Si aku lirik menjelma citra yang merekonsiliasi—dan mentranformasi—segala anasir yang bersitentang, puisi yang menciptakan dirinya, dan berbicara kepada dirinya, dengan dan melalui dirinya.
            Ruh kumpulan sajak ini agaknya terkondensasi dalam bagian akhir Empat Pelajaran Menulis Puisi. Kredo puisi yang ditulis dengan puisi, sekaligus membabarkan stasi-stasi yang ditempuh penyair dalam menulis puisi. Saya mendapati bahwa stasi-stasi ini ham

Sabtu, 01 Maret 2014

Menanti Seniman Politik




---Ahda Imran,  Penyair dan Esais


NAMANYA Nyoman Anjani, Presiden Keluarga Mahasiswa ITB, sedang menyelesaikan tugas akhirnya di Jurusan Teknik Mesin. Memakai baju hangat, celana jins dan sepatu keats, rambut terurai, memakai kacamata, dan cantik. Malam itu (22/1), dalam acara “Peta(ka): Orasi Kebudayaan Akhir Tahun” di Lapangan Merah Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB , ia tampil sebagai orator paling muda di antara orator lainnya; Dr. Yasraf Amir Piliang, Prof. Setiawan Sabana, Dr. Asep Salahudin, Gustaff Hariman Iskandar, dan Prof. Bambang Hidayat. Dengan gayanya yang santai ia bicara ihwal politik dan seni, tanpa perlu mengutip kalimat-kali gagah Marx, Soekarno, Tan Malaka, Lenin, atau Plato, yang lazimnya jadi kebiasaan aktivis kampus.