Minggu, 31 Maret 2013

Menyoal Hari Sastra Indonesia


Oleh AHDA IMRAN

MENETAPKAN  hari lahir seseorang sebagai penanda penting bagi ingatan kolektif, tentu lumrah saja. Kelahiran orang suci, nabi, wali, pahlawan atau yang sosok dikeramatkan kerap menjadi hari dan peristiwa penting yang jadi tradisi perayaan hingga ritual. Biografi seseorang di situ diubah menjadi biografi ingatan di ranah publik. Inilah yang hendak ditating oleh Taufiq Ismail dan sejumlah sastrawan yang lalu menggagas perlunya ada sebuah hari untuk memperingati sastra Indonesia. Mereka, dan sejumlah sastrawan lainnya, berkumpul di Bukittinggi Sumatera Barat, Minggu (24/3), dan lahirlah Maklumat Hari Sastra Indonesia yang ditetapkan setiap tanggal 3 Juli. Penetapan ini mendasar pada hari kelahiran sastrawan penulis novel terkenal “Salah Asuhan” (1928) Abdoel Moeis  di Bukittinggi 3 Juli 1883.


Kamis, 28 Maret 2013

Kegairahan dalam Kerumunan




Oleh AHDA IMRAN

PENGUMUMAN hasil seleksi karya para penyair yang berhak mengikuti Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) VI di Jambi 28-31 Desember 2012, menempatkan 24 nama penyair Jabar. Selain diundang hadir ke Jambi, karya mereka juga dimuat dalam antologi “Sauk Seloko” bersama para penyair lainnya dari berbagai kota dan negara. Banyaknya jumlah penyair Jabar yang lolos seleksi PPN VI Jambi dibanding  propinsi-propinsi lainnya, mengulang apa yang pernah terjadi pada hasil seleksi karya para penyair yang mengikuti Temu Sastrawan Indonesia (TSI) IV di Ternate Maluku Utara 2011 lalu. Dalam buku antologi  “Tuah Tara No Ate” yang terbit menyertai even TSI IV, terdapat  sejumlah puisi karya 15 penyair Jabar.

Dari kedua even itu, di antara daftar para penyair Jabar, umumnya ialah generasi terbaru.   Anis Sayidah, Evi Sefiani, Sinta Ridwan, Nissa Rengganis, Herton Maridi, atau Pungkit Wijaya. Termasuk pula sejumlah nama generasi terbaru yang  mungkin masih terdengar asing bagi publik sastra di Jabar; Jun Nizami, Khoer Jurzani, Ahmad Syahid, Arinda Risa Kamal, Rudy Ramdani , Galah Denawa, Neneng Nurjanah, Syarif Hidayatullah, Willy Fahmy Agiska, Windu Mandela, Romyan Fauzan, Arinda Risa Kamal, atau Zulkifli Songyanan. Nama-nama ini menyertai sejumlah penyair lain dari lapisan generasi Ahmad Faisal Imron, Atasi Amin, Toni Lesmana, Bode Riswandi, Heri Maja Kelana, Dian Hartati, Fina Sato, atau Doni Muhammad Nur.

Banyaknya jumlah karya penyair Jabar yang terpilih dalam seleksi dua even sastra tersebut, tentu akan menjadi gegabah bila lantas disebut bahwa karya penyair Jabar lebih bagus ketimbang penyair dari propinsi lainnya.

Rabu, 27 Maret 2013

Alazhi: Tubuh Identitas di Simpang Jalan




---Ahda Imran

Selamat tinggal, Alazhi. Selamat datang Lian Ting

ITU kalimat yang dibisikkan Alazhi pada dirinya. Sesaat setelah gadis Uyghur itu melepas kerudung dan busana muslimahnya, menukarnya dengan busana modern yang memamerkan tubuhnya yang ramping. Bila, seperti dibilang Henk Schulte Nordholt (2005), busana dimaknai sebagai perpanjangan tubuh, maka dalam peristiwa itu Alazhi sedang menyeberangkan tubuhnya dari satu identitas ke identitas yang lain. Ia mengalihkan definisi dan deskripsi identitas tubuhnya ke identitas yang lain. Identitas baru yang berbeda, yang merepresentasikan hasratnya pada kemajuan. Sekaligus yang mendeskrsipsikan sebuah tatanan psiko-sosial politik dan budaya yang menegangkan, yang menghadapkan identitas minoritas dan mayoritas.      

Lebih jauh dalam peristiwa itu Alazhi sedang memamerkan kuasanya sebagai perempuan atas identitas tubuhnya.  Setelah selama ini kuasa itu berada di tangan sejarah, tradisi, dan kepercayaan sukunya. Perempuan yang pergi sendiri meninggalkan kampung halamannya dan membuka kerudungnya adalah sebuah aib. Kuasa ayah atau suami adalah representasi dari kuasa suci agama. Kerudung bukan hanya selembar kain, tapi juga norma agama, harga diri keluarga, dan identitas dari marwah kaum atau suku. Pergi diam-diam meninggalkan kedua orang tua dan sukunya, barulah Alazhi berada di luar kuasa itu. Ia kini memiliki kuasa atas identitas tubuhnya meski harus menanggung aib.

Trakl: Puisi, Keindahan, dan Beban Kebenaran





--Ahda Imran

Eloklah manusia, menjelma dalam gulita
                                                     (Helian)

BAGI  perindu kebenaran, pemeluk teguh karya seni yang mengimani keindahan sebagai yang harus menyeru manusia pada laku kebajikan, karya seni yang digubah dari getar sukma dan menuntun orang untuk menginsyafi sinar benderang kemuliaan seraya mewaspadai kejahatan, Georg Trakl (1887-1904) dan puisi-puisinya adalah contoh yang buruk—bahkan paling buruk. Baris puisinya di atas hanyalah satu dari sekian karyanya yang tak patut dijadikan ajaran apalagi teladan,  pemujaannya yang setengah mengajak orang untuk  menjelma dalam gulita. Bahkan, penyair yang juga pecandu narkotika ini pernah mengatakan, “Saya tidak berhak mengelak dari neraka”. Na’udzubillahi himinndzaliq...

Dan ternyata itu belum cukup. Georg Trakl adalah seseorang yang kepadanya seluruh kebencian mesti dialamatkan. Bukan hanya ia pendosa karena mencandu narkotika yang membuatnya mengalami berbagai halunisasi (skizofrina), tapi Trakl juga  menjalin cinta gelap dengan adik perempuannya sendiri, Grete. Hubungan inses ini telah berlangsung sejak keduanya masih remaja. Ada banyak alasan untuk memaafkan seorang narkoba atau memaklumi seorang yang memilih menjadi komunis, atheis, fasis, atau berbagai kejahatan dan kelainan seks. Tapi sulit sekali menemukan alasan untuk memaklumi, apalagi memaafkan, orang yang bercinta dengan adik kandungnya. Perbuatan yang bahkan tak terpikirkan oleh para pengedar dan bandar narkoba sekalipun.

Selasa, 26 Maret 2013

Dapur adalah Tubuh Perempuan




Oleh AHDA IMRAN

SEJARAH  masakan ternyata tak melulu berisi sejarah awal mula imprealisme, seperti Jack Turner menulisnya dengan bagus dalam Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imprealisme (2011). Tapi juga menyoal dapur dan bagaimana perempuan dimaknai. Dalam masyarakat lelaki, dapur ialah ruang domestik sebagaimana tubuh perempuan yang tak pernah dimaknai sebagai tubuh publik. Dapur tampakya bukanlah semata ruang yang fungsional, melainkan pula tempat tubuh perempuan dikoloni. Dari tempat itulah perempuan diukur kesempurnaannya melayani suami, dengan kemampuannya memasak. Setidaknya tak ada seorang pun suami yang merasa menanggung dosa besar jika ia tak pandai memasak.

Dapur adalah tubuh perempuan. Inilah yang ditulis oleh Eka Kurniawan “Kutukan Dapur” dalam kumpulan cerpennya “Cinta Tak Ada Mati dan Cerita-cerita Lainnya” (2005). Lalu cerpen ini dialihwahanakan oleh kelompok teater DarahRouge Bandung, menjadi sebuah lakon pertunjukan berjudul “Cooking and Murder” dengan sutradara Karensa Dewantoro.